|
Robert Monginsidi
dilahirkan
di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai
pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa
Belanda: Hollands Inlandsche School
(HIS)), yang
diikuti sekolah menengah (bahasa
Belanda: Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO)) di
Frater Don Bosco di Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang
pada sebuah sekolah di Tomohon. Ketika pendudukan Jepang ia belajar bahasa Jepang dan lulus
dengan sangat memuaskan sehingga diangkat sebagai guru pada kursus bahasa
Jepang di Minahasa. Selanjutnya pindah ke Luwuk Sulawesi Tengah. Saat Jepang
menyerah, ia pergi ke Ujung Pandang dan bergabung dengan para pemuda pejuang
lainnya.
Tanggal 27 Oktober 1945 seluruh
kekuatan pemuda pejuang di Ujung Pandang dipusatkan untuk mengadakan serangan umum dan merebut tempat-tempat yang
strategis yang telah diduduki tentara Belanda. Ia dkk-nya bertugas menyerbu Hotel
Empres dan menangkapi para perwira Belanda serta membuat barikade di
jalan-jalan. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Australia ikut campur dan
menyerbu markas pemuda pejuang. Banyak dari mereka yang gugur dan tertangkap
termasuk Robert Wolter Monginsidi. Namun karena kepandaiannya ia dibebaskan.
Pasukan NICA terus melancarkan pengejaran terhadap para pejuang sehingga mereka mengundurkan diri dari kota dan membentuk markas-markas di daerah sambil melancarkan perang gerilya. Robert menggabungkan diri dengan pasuan Ranggong Daeng Romo yang bermarkas di Plongbangkeng dan ditugasi sebagai penyidik karena mahir bahasa asing dan wajahnya mirip Indo Belanda. Ia sering menyamar sebagai Tentara Belanda dan merampas kendaraan dan senjata serta memasang plakat berisi ancaman sehingga namanya bagaikan hantuyangsangatditakutipasukanBelanda.
Tanggal 17 Juli 1946, Robert bersama-sama pemuda pejuang lainnya mendirikan organisasi perjuangan bernama Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan Panglimanya Ranggong Daeng Romo dan Sekretaris Jenderalnya Robert Wolter Monginsidi yang langsung memimpin operasi. Tanggal 3 Nopember 1946, dalam suatu pertempuran di dekat kota Barombang, ia terluka dan terpaksa mengundurkan diri untuk sementara. Kemudian tanggal 21 Januari 1947 di Kassikassi terjadi pertempuran dan ia lolos dari kepungan tentara Belanda yang ketat. Belanda semakin gentar menghadapinya sehingga dikeluarkan pengumuman bahwa barang siapa dapat menangkap Wolter hidup atau mati aka diberi hadiah namun Wolter tidak pernah tertangkap.
Belanda makin memperkuat tekanannya terhadap para pejuang. Banyak diantara mereka yang tertangkap gugur atau meninggalkan Sulawesi Selatan namun Wolter tetap pada pendiriannya bahkan sering berjuang seorang diri mengacaukan pasukan Belanda. Untuk menekan perjuangan rakyat Sulawesi Selatan, Belanda melakukan pembunuhan besar-besaran yang dipimpin oleh Kapten Raymond Paul Piere Westerling yang terkenal bengis yang terkenal bengis. Tidak kurang dari 40.000 jiwa menjadi korban keganasan pasukan Westerling tersebut.
Pasukan NICA terus melancarkan pengejaran terhadap para pejuang sehingga mereka mengundurkan diri dari kota dan membentuk markas-markas di daerah sambil melancarkan perang gerilya. Robert menggabungkan diri dengan pasuan Ranggong Daeng Romo yang bermarkas di Plongbangkeng dan ditugasi sebagai penyidik karena mahir bahasa asing dan wajahnya mirip Indo Belanda. Ia sering menyamar sebagai Tentara Belanda dan merampas kendaraan dan senjata serta memasang plakat berisi ancaman sehingga namanya bagaikan hantuyangsangatditakutipasukanBelanda.
Tanggal 17 Juli 1946, Robert bersama-sama pemuda pejuang lainnya mendirikan organisasi perjuangan bernama Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan Panglimanya Ranggong Daeng Romo dan Sekretaris Jenderalnya Robert Wolter Monginsidi yang langsung memimpin operasi. Tanggal 3 Nopember 1946, dalam suatu pertempuran di dekat kota Barombang, ia terluka dan terpaksa mengundurkan diri untuk sementara. Kemudian tanggal 21 Januari 1947 di Kassikassi terjadi pertempuran dan ia lolos dari kepungan tentara Belanda yang ketat. Belanda semakin gentar menghadapinya sehingga dikeluarkan pengumuman bahwa barang siapa dapat menangkap Wolter hidup atau mati aka diberi hadiah namun Wolter tidak pernah tertangkap.
Belanda makin memperkuat tekanannya terhadap para pejuang. Banyak diantara mereka yang tertangkap gugur atau meninggalkan Sulawesi Selatan namun Wolter tetap pada pendiriannya bahkan sering berjuang seorang diri mengacaukan pasukan Belanda. Untuk menekan perjuangan rakyat Sulawesi Selatan, Belanda melakukan pembunuhan besar-besaran yang dipimpin oleh Kapten Raymond Paul Piere Westerling yang terkenal bengis yang terkenal bengis. Tidak kurang dari 40.000 jiwa menjadi korban keganasan pasukan Westerling tersebut.
Tanggal 28 Februari 1947 Wolter tertangkap oleh Pasukan Belanda dan dimasukkan ke penjara di Ujung Pandang mekipun dibujuk oleh Belanda untuk melepaskan perjuangannya dan akan diberikan hadiah serta kedudukan yang menggiurkan namun Wolter tetap menolaknya. Sementara itu kawan-kawannya berusaha keras untuk membebaskannya dari penjara. Dengan bersenjatakan granat yang diselundupkan melalui makanan, Wolter dapat meloloskan diri pada tanggal 18 Oktober 1948.
Tanggal 28 Oktober 1948, selagi Wolter berada di Klapperkan lorong 22A No.3 kampung Mricayya-Ujung Pandang, Wolter disergap oleh pasukan Belanda karena ada yang mengkhianatinya. Ia dimasukkan dalam penjara Polisi Militer Belanda dengan penjagaan yang sangat ketat dan dipindahkan ke penjara Kis. Tanggal 26 Maret 1949 ia diajukan ke pengadilan kolonial Belanda dan dijatuhi hukuman mati. Berbagai pihak menyarankan agar Wolter meminta pengampunan kepada Pemerintah Belanda namun ia tetap menolak.
Tanggal 5 September 1949 Wolter menjalani hukuman tembak. Ia ditembak tanpa tutup mata dengan memegang kitab Injil di tangan kirinya dan tangan kanannya mengepalkan tinju sambil berteriak "Merdeka atau Mati" lima menit sebelum ditembak. Wolter masih dengan tenang menulis kalimat penghabisan "setia hingga terakhir dalam keyakinan"dan ditanda tangani 5 September 1949. Berkat jasanya yang luar biasa ini Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional.
Nama dan sosok Wolter mampu membuat gentar Belanda karena keberanian, kesetiaan dalam keyakinannya untuk melawan ketidakadilan, sungguh langka menemukan sosok orang yang seperti itu. Baik di jaman itu, apalagi di jaman seperti ini bukan! Barangkali dunia hanya melahirkan orang-orang istimewa seperti ini dalam hitungan jari dengan jaman yang berbeda !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar